Senin, 12 Februari 2018

Cerita di Kelas Akselerasi

Menjadi murid termuda di kelas memberikan suatu kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagiku. Kalau ditanya kenapa, aku sendiri tidak yakin. Bisa jadi karena aku berhasil mempertahankan rekor sebagai murid termuda di kelas dari kelas 1 SD sampai sekarang (kuliah sem. 2)



...meskipun gak ada faedahnya juga

Selain pertama masuk sekolah di usia yang (katanya) terlalu muda, saat SMA pun, aku mengikuti program akselerasi.

Jujur, sejak dalam masa-masa UN SMP sampai kelulusan, aku tidak membayangkan kehidupan saat SMA. Yang ada di benakku adalah keinginan untuk cepat-cepat kuliah. Dan (sepertinya) itulah motivasi awalku untuk ikut program akselerasi. Memperpendek masa SMA agar bisa cepat kuliah.

Haha.

Awalnya aku pikir, kelas akselerasi itu dibuka langsung saat penerimaan siswa baru. Tapi ternyata seleksinya pun baru akan diadakan sesudah UTS pertama.

Setelah UTS, angkatan kami (tidak semua, hanya yang mau) mengikuti tes psikotes. Diantara sekitar 1/3 dari jumlah keseluruhan murid di angkatanku, hanya 10 orang yang memenuhi persyaratan untuk masuk kelas akselerasi. Namun, karena sejak awal tes psikotes itu memang bukan untuk menyeleksi calon murid akselerasi saja, diantara 10 murid itu, hanya 5 yang berniat masuk program akselerasi (aksel) sedangkan sisanya memilih untuk tetap di kelas reguler.

Kemudian, dimulailah pelajaran pertama di kelas akselerasi angkatan 13. Awalnya, aku pun mengira bahwa kami akan disatukan di kelas yang terpisah. Ternyata kami tetap terdata dalam kelas reguler, hanya saja, di jam pelajaran tertentu kami keluar dari kelas masing-masing untuk belajar mata pelajaran aksel. Kami tidak memiliki kelas yang tetap karena jumlah kami yang terlalu sedikit. Maka kami belajar di perpustakaan (yang waktu itu sering digunakan sebagai tempat berdiam bagi anak yang terlambat dan tidak diperbolehkan mengikuti jam pelajaran pertama).

Belum seminggu, dua orang menyatakan mengundurkan diri. Tinggallah kami bertiga.

Dengan jumlah orang yang lebih sedikit lagi, kami serasa seperti sedang belajar privat. Benar-benar tenang. Terlalu tenang malah.

Mengenai tempat, kami belajar berpindah-pindah mulai dari kursi taman sekolah, lab fisika (yang penuh dengan barang-barang praktikum), lab biologi--kalau tidak salah (yang ruangannya kira-kira 4 kali kelas biasa), lab kimia (yang menurutku seperti dapur) ruang guru (yang membuat kami merasa canggung), dan perpustakaan.

Hanya ketika kakak kelas kami, kelas aksel angkatan 12 sudah UN, kami baru bisa merasakan belajar di kelas bekas mereka (mereka berjumlah 10 orang. Beruntung banget mereka punya kelas :") ). Sekelas bertiga! Ditambah kelas yang dilenglapi AC, smartboard, dan karpet. Betapa enaknya kakak kelas kami waktu itu.

Kemudian saat kenaikan kelas, aku agak bingung karena gak tahu aku kelas berapa (?)
Jadi, kalau teman-teman kami yang reguler sudah menyelesaikan semester 1 dan 2, kami yang aksel sudah menyelesaikan semester 1, 2, dan 3. Jadi, kami dihitung naik ke kelas 11, tapi tahun depan kami sudah lulus.

Dan ternyata, salah satu dari kami bertiga memutuskan untuk mengundurkan diri dari aksel. Maka, hanya tersisa aku dan salah satu temanku (sebut saja dia Rahayu) yang bertahan hingga lulus.

Sebelumnya, ini hanya pengalamanku saat mengikuti program aksel angkatanku di sekolahku. Aku tidak tahu seperti apa program aksel di sekolah lain, bahkan kakak kelas dan adik kelas kami (yang sama-sama aksel) pasti mempunyai pengalaman yang berbeda dari kami.

Keuntungan yang kurasakan saat mengikuti aksel, pertama, jelas aku bisa menghemat waktuku mempelajari eksak selama di SMA (yang ternyata gak terlalu kepake selama kuliah), lalu aku bisa terbiasa dengan tugas yang menumpuk (?), kemudian kami pun lebih dikenal guru-guru (sekelas cuma berdua you don't say~)

Hanya saja, aku mungkin tidak merasakan apa yang orang bilang masa-paling-indah-adalah-masa-putih-abu2. Selain seragam SMA sekolahku memang bukan berwarna putih abu-abu, aku terlalu disibukkan dengan pelajaran sehingga tidak ada waktu untuk (cielah) merasakan apa yang kebanyakan siswi seumuranku rasakan. Aku juga tidak terlalu aktif berorganisasi. Rasanya waktu 2 tahun habis begitu saja.

Dengan waktu selama itu disibukkan dengan pelajaran eksak dengan kurang diimbangi agama, aku merasa kehidupanku begitu hedonis, yang membuatku ingin masuk ke universitas dengan lingkungan religius yang kental.

Namun aku tetap bersyukur karena sekarang dapat masuk ke universitas yang kuinginkan, meskipun jurusannya agak 'tersesat' sedikit, tapi aku tersesat di jalan yang benar.


13 Februari 2018

Tergesa-gesa, dalam perjalanan pulang ke kostan, baru coba ngeblog pakai hp.

...ribet juga ternyata.

rifqa.amaris

Author & Editor

Menata kata untuk dunia yang lebih bermakna.

2 komentar:

 
biz.