Kamis, 15 Februari 2018

Nama Pena

Aku mengikuti UKM kepenulisan di kampus dan di chatting grup, kami (aku sebagai silent reader) sempat sedikit menyinggung tentang nama pena.

Banyak penulis terkenal yang menggunakan nama pena, baik itu menggunakan singkatan nama mereka, anagram nama asli, hal-hal yang disukai, dan sebagainya. Begitupun teman-teman di UKM, mereka mempunyai nama pena mereka sendiri. Membuat aku berpikir, enaknya nama penaku apa ya?



Awalnya aku mencari di website pencarian nama untuk bereksperimen dengan nama penaku. Aku mencari kata dalam bahasa asing yang mempunyai makna yang sama dengan objek yang kusukai, namun membayangkan seseorang memanggilku dengan nama itu, terdengar aneh dan asing.

Kemudian aku mencoba menggunakan anagram namaku, hasilnya malah lebih aneh.

Aku jadi teringat, dulu aku bertanya tentang apa nama pena ibuku. Dari yang kutangkap, Ibuku menjawab bahwa beliau lahir dengan nama itu, akan meninggal dengan nama itu, dan nanti di akhirat akan dipanggil dengan nama itu. Maka, beliau ingin berkarya dan memberi manfaat di dunia dengan nama itu. Biarlah orang-orang mengenal ibuku dengan nama itu.

Salah satu tujuan orang menggunakan nama pena adalah untuk menjadikan nama tersebut lebih khas, atau mempermudah penyebutan.

...nama asliku saja masih banyak orang yang salah sebut...

Karena aku mempunyai empat nama dalam nama lengkapku, terlalu panjang dan orang mungkin tidak akan hafal dalam sekali baca atau sekali dengar. Jadi aku memilih untuk menggunakan salah satu dari keempat nama itu.

Karena keempat-empatnya adalah namaku, aku tidak merasa asing jika ada orang yang memanggilku dengan salah satu nama itu.

Mungkin suatu saat akan berubah sesuai keperluan, tapi sekarang aku ingin mencoba menggunakan nama terakhirku sebagai nama pena. Artinya yang dijanjikan.



16 Februari 2018

Nama pena sudah ada, tapi karyanya belum ada.

...sebuah ironi.

Teman-Teman Khayalan

Aku sangat suka membaca novel dan menjadi novelis adalah salah satu dari banyak cita-citaku. Aku baru tertarik membaca novel-novel anak saat kelas 5 SD dan mulai mengarang-ngarang ceritaku sendiri. Aku sendiri sudah lupa seperti apa cerita pertamaku itu karena aku hanya membayangkannya dan baru menulis bab awalnya (dan itupun kuhapus setelah aku merasa aneh dengan tulisanku sendiri). Saat SMP, aku sudah memikirkan cerita yang membuatku bersemangat untuk menyelesaikannya, tapi tulisan itu belum selesai karena cerita yang terus berkembang sehingga apa yang sudah terlanjur kutulis jadi kurang 'nyambung' dan tidak sesuai dengan maksudku (tapi kali ini seaneh apapun tulisan itu, aku tetap menyimpannya sebagai kenang-kenangan).

Ada 3 cerita yang masih terpendam dalam khayalanku, ketiganya bergenre fantasi. Seiring berkembangnya ceritaku, tokoh-tokoh di dalamnya pun semakin terasa nyata. Dan mereka sudah menjadi seperti temanku sendiri. Tanpa sadar aku menyisipkan karekterku dalam karakter mereka. Mereka pun seakan menjadi refleksi dari pribadi yang kuharapkan.

Apabila ada kesamaan nama, karakter, atau background story, itu hanyalah kebetulan semata.


Tokoh yang pertama, setelah berganti nama sebanyak 2 kali, akhirnya aku menamai tokoh yang satu ini Kai. Dalam ceritanya, ia adalah laki-laki berusia 15 tahun dan seorang pangeran yang dibenci oleh rakyatnya sendiri karena memiliki darah 'monster' dari ibunya. Ia tidak mau menjadi penerus takhta ayahnya dan lebih memilih untuk mencari kakak seayahnya yang telah lama hilang dan diyakini sudah mati agar dapat terlepas dari takdirnya menjadi pewaris takhta. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian dan lebih memilih untuk 'bekerja di balik layar'. Daripada cool, aku lebih membayangkan Kai menjadi sosok yang pendiam, namun menjadi sosok yang hangat setelah kau lama mengenalnya. Ia berusaha menjadi orang yang berguna untuk siapapun. Hanya saja ia tidak bisa mengontrol kekuatan dari darah ibunya dan agak pendendam.

Tokoh yang kedua kuberi nama Ahva, anggaplah dia berusia 18 tahun. Ia ada dalam cerita yang sama dengan Kai, hanya saja dalam latar tempat dan waktu yang berbeda. Sama seperti Kai, ia adalah pangeran (putra mahkota) yang tidak mau menjadi penerus takhta, maka Ahva memilih untuk langsung menyerahkan kekuasaan pada anaknya nanti jika ibunya (yaitu sang ratu) turun takhta/mati. Berbeda dengan Kai yang dibenci, Ahva adalah pangeran yang ditakuti di kerajaannya karena memiliki 'kemampuan istimewa'. Ia terbiasa mengabaikan perasaannya (kecuali pada saat-saat tertentu), tidak mau ikut campur urusan orang lain, dan terkadang asyik sendiri saat sibuk melakukan sesuatu. Di awal cerita, aku memang membayangkannya sebagai pemuda dingin yang tidak punya hati, tapi seiring perkembangan cerita, ia akan menjadi pribadi yang jauh berbeda. Dan jujur, dari perkembangan inilah aku jadi lebih memfavoritkan Ahva daripada Kai (maaf, Kai ._. ) yang tokoh utama.

Tokoh yang ketiga berasal dari cerita yang berbeda dengan Kai dan Ahva (meskipun masih berlatar kerajaan) yang bernama Zia. Ia adalah seorang putri dan memiliki kakak yang merupakan seorang raja (muda). Di usia Zia yang ke 16 tahun, kerajaannya diserang dan kakaknya terbunuh. Saat ia akan ditangkap untuk dijadikan tahanan, ia langsung melarikan diri dan menyamar menjadi  warga biasa hingga ia dapat membalas dendam pada orang yang membunuh kakaknya (kunamai dia Areztya, seumuran dengan Zia. Raja dari kerajaan yang menyerang istana Zia).
Setelah 2 tahun menjadi warga biasa, Zia mempunyai sifat yang kelelakian dan kasar, dan sejak penyerangan itu, Zia menjadi pribadi yang pendendam. Namun diluar itu, ia tetap senang membantu orang lain dan tidak mau mempunyai hutang budi. Sifat inilah yang mempertemukannya dengan Alfa yang menjadi awal mula ceritaku (yang kedua).



Tokoh yang keempat kuberi nama Alfa. Berusia tak jauh berbeda dengan Zia. Seorang prajurit dari kerajaan Raja Areztya yang malah membenci rajanya sendiri. Ia sangat suka wangi kayu cendana. Tidak sengaja bertemu Zia dan menolongnya saat ia sedang melaksanakan misi. Zia menawarkan diri untuk membantu misinya. Alfa sangat suka pada binatang dan anak-anak, juga mempunyai sifat lembut dan tenang, berkebalikan dengan Zia (yang membuat Zia sendiri minder dan merasa gagal menjadi perempuan (what?)).
Meskipun cerita yang kedua ini belum terlalu 'jelas', tapi tokoh-tokohnya seakan lebih hidup dari tokoh-tokoh di cerita pertama. Sepertinya aku tidak sengaja menambahkan bumbu romance dalam cerita ini. HAHA.


Tokoh yang kelima, berasal dari cerita ketiga yang mempunyai latar jauh di masa depan, zaman dimana cyborg bukan lagi hal yang aneh. (Latar tempatnya masih kabur. Sepertinya aku melewatkan bagian world building dalam cerita ini)
Namanya Azalea, berusia 16 tahun. Terbangun dalam kondisi hilang ingatan dalam sebuah kota yang sedang sedang dilanda kepanikan karena cyborg terkuat Profesor Axel (tokoh antagonis) menghilang dan penduduk tidak akan merasa tenang hingga cyborg tersebut ditemukan dan dikalahkan. Namun ternyata, Azalea menemukan cyborg itu di gudang rumahnya (?).
Karena mungkin kepalanya terbentur, selain lupa ingatan, Azalea juga agak telmi. Tapi ia tidak menyerah untuk memulai kehidupannya lagi dari awal. Ia kadang-kadang tidak menyadari hal-hal yang berbahaya. Ia pun bersemangat untuk mencari teman sebanyak-banyaknya, termasuk si cyborg yang ia temukan di gudang.

Oke... setelah membaca deskripsi teman-teman khayalanku di atas, apa kalian bisa membayangkan betapa absurdnya cerita-ceritaku itu? Haha.



15, eh... 16 Februari 2018

Ngalong menyambut liburan 4 hari berturut-turut.

...horeeee

Senin, 12 Februari 2018

Cerita di Kelas Akselerasi

Menjadi murid termuda di kelas memberikan suatu kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagiku. Kalau ditanya kenapa, aku sendiri tidak yakin. Bisa jadi karena aku berhasil mempertahankan rekor sebagai murid termuda di kelas dari kelas 1 SD sampai sekarang (kuliah sem. 2)



...meskipun gak ada faedahnya juga

Selain pertama masuk sekolah di usia yang (katanya) terlalu muda, saat SMA pun, aku mengikuti program akselerasi.

Jujur, sejak dalam masa-masa UN SMP sampai kelulusan, aku tidak membayangkan kehidupan saat SMA. Yang ada di benakku adalah keinginan untuk cepat-cepat kuliah. Dan (sepertinya) itulah motivasi awalku untuk ikut program akselerasi. Memperpendek masa SMA agar bisa cepat kuliah.

Haha.

Awalnya aku pikir, kelas akselerasi itu dibuka langsung saat penerimaan siswa baru. Tapi ternyata seleksinya pun baru akan diadakan sesudah UTS pertama.

Setelah UTS, angkatan kami (tidak semua, hanya yang mau) mengikuti tes psikotes. Diantara sekitar 1/3 dari jumlah keseluruhan murid di angkatanku, hanya 10 orang yang memenuhi persyaratan untuk masuk kelas akselerasi. Namun, karena sejak awal tes psikotes itu memang bukan untuk menyeleksi calon murid akselerasi saja, diantara 10 murid itu, hanya 5 yang berniat masuk program akselerasi (aksel) sedangkan sisanya memilih untuk tetap di kelas reguler.

Kemudian, dimulailah pelajaran pertama di kelas akselerasi angkatan 13. Awalnya, aku pun mengira bahwa kami akan disatukan di kelas yang terpisah. Ternyata kami tetap terdata dalam kelas reguler, hanya saja, di jam pelajaran tertentu kami keluar dari kelas masing-masing untuk belajar mata pelajaran aksel. Kami tidak memiliki kelas yang tetap karena jumlah kami yang terlalu sedikit. Maka kami belajar di perpustakaan (yang waktu itu sering digunakan sebagai tempat berdiam bagi anak yang terlambat dan tidak diperbolehkan mengikuti jam pelajaran pertama).

Belum seminggu, dua orang menyatakan mengundurkan diri. Tinggallah kami bertiga.

Dengan jumlah orang yang lebih sedikit lagi, kami serasa seperti sedang belajar privat. Benar-benar tenang. Terlalu tenang malah.

Mengenai tempat, kami belajar berpindah-pindah mulai dari kursi taman sekolah, lab fisika (yang penuh dengan barang-barang praktikum), lab biologi--kalau tidak salah (yang ruangannya kira-kira 4 kali kelas biasa), lab kimia (yang menurutku seperti dapur) ruang guru (yang membuat kami merasa canggung), dan perpustakaan.

Hanya ketika kakak kelas kami, kelas aksel angkatan 12 sudah UN, kami baru bisa merasakan belajar di kelas bekas mereka (mereka berjumlah 10 orang. Beruntung banget mereka punya kelas :") ). Sekelas bertiga! Ditambah kelas yang dilenglapi AC, smartboard, dan karpet. Betapa enaknya kakak kelas kami waktu itu.

Kemudian saat kenaikan kelas, aku agak bingung karena gak tahu aku kelas berapa (?)
Jadi, kalau teman-teman kami yang reguler sudah menyelesaikan semester 1 dan 2, kami yang aksel sudah menyelesaikan semester 1, 2, dan 3. Jadi, kami dihitung naik ke kelas 11, tapi tahun depan kami sudah lulus.

Dan ternyata, salah satu dari kami bertiga memutuskan untuk mengundurkan diri dari aksel. Maka, hanya tersisa aku dan salah satu temanku (sebut saja dia Rahayu) yang bertahan hingga lulus.

Sebelumnya, ini hanya pengalamanku saat mengikuti program aksel angkatanku di sekolahku. Aku tidak tahu seperti apa program aksel di sekolah lain, bahkan kakak kelas dan adik kelas kami (yang sama-sama aksel) pasti mempunyai pengalaman yang berbeda dari kami.

Keuntungan yang kurasakan saat mengikuti aksel, pertama, jelas aku bisa menghemat waktuku mempelajari eksak selama di SMA (yang ternyata gak terlalu kepake selama kuliah), lalu aku bisa terbiasa dengan tugas yang menumpuk (?), kemudian kami pun lebih dikenal guru-guru (sekelas cuma berdua you don't say~)

Hanya saja, aku mungkin tidak merasakan apa yang orang bilang masa-paling-indah-adalah-masa-putih-abu2. Selain seragam SMA sekolahku memang bukan berwarna putih abu-abu, aku terlalu disibukkan dengan pelajaran sehingga tidak ada waktu untuk (cielah) merasakan apa yang kebanyakan siswi seumuranku rasakan. Aku juga tidak terlalu aktif berorganisasi. Rasanya waktu 2 tahun habis begitu saja.

Dengan waktu selama itu disibukkan dengan pelajaran eksak dengan kurang diimbangi agama, aku merasa kehidupanku begitu hedonis, yang membuatku ingin masuk ke universitas dengan lingkungan religius yang kental.

Namun aku tetap bersyukur karena sekarang dapat masuk ke universitas yang kuinginkan, meskipun jurusannya agak 'tersesat' sedikit, tapi aku tersesat di jalan yang benar.


13 Februari 2018

Tergesa-gesa, dalam perjalanan pulang ke kostan, baru coba ngeblog pakai hp.

...ribet juga ternyata.

Datang Lagi

Ternyata untuk konsisten a.k.a. istiqamah itu gak gampang ya.

Baru saja berniat untuk aktif ngeblog, baru beberapa postingan udah ngelelep lagi.

Yah, meskipun termotivasi untuk kembali mengisi blog ini setelah ada tugas mata kuliah Komputer Arabiy. Walhasil saat pulang kuliah, karena aku orangnya bosenan, aku langsung bebenah blog dan setelah uji coba yang lumayan memakan waktu dan kuota, jadilah tampilan seperti ini.

Tapi yang penting itu isinya kan?





12 Februari 2018
Di tengah pilihan untuk begadang atau tarik selimut.




...tarik selimut win.

 
biz.